Nekat yang Membawa Berkat
(The Journey
of Raja Ampat)
Kuwati
R
|
aja Ampat… Siapa yang tidak kenal dengan namanya? Surga
kecil di ujung Timur Indonesia yang memiliki seribu pulau nan indah dan
eksotis. Tempat dimana aku akan mengabdikan diri sebagai guru di sana.
Setelah
4 tahun kuliah di sebuah Sekolah Keguruan Tinggi di Sorong, akhirnya aku lulus
juga. Saatnya bagiku menentukan masa depanku untuk mencari kerja, mengabdikan
diri kepada Bangsa ini. Berawal dari ikut-ikutan teman-teman, aku nekat untuk
ikut berlayar ke pulau Raja Ampat, dengan tujuan jalan-jalan sekaligus mencari
kerjaan. Berbekal ijazah dengan predikat kelulusan sangat memuaskan, aku nekat untuk
mengikuti tes CPNS di sana. Setelah kurang lebih 2 bulan menjadi pengangguran
kelas berat, akhirnya diumumkan juga nama-nama yang tembus tes tersebut. Syukur
Alhamdulillah, namaku disebut dengan urutan pertama pada guru mata pelajaran
Biologi. Rasa gemetar dengan darah yang mengalir deras seakan tak bisa
dibendung. Ungkapan rasa gembira yang tak terhingga.
Well…akhirnya aku berangkat ke
waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat, tempat aku mendaftar sebagai calon CPNS
dulu. Setelah melengkapi semua berkas-berkas di Kepegawaian, akhirnya aku dapat
juga nota dinas, surat pengantar untuk aku melaksanakan tugas. Entah kenapa ada
perasaan takut dan sempat ingin mundur saja, karena ternyata Raja Ampat sangat
luas, lalu akan di tempatkan dimana aku nanti?
Nota
Dinas sudah ditangan, tertulis di situ “SMP Negeri 15 Raja Ampat ”. see… apa yang terjadi? Mukaku merah
seperti udang di rebus, mataku berkaca-kaca dan siap meluncurkan hujan air
mata. Kupasang muka melas stadium akhir, kutanyakan dengan orang dinas dimana
SMP Negeri 15 itu? Akhirnya kudapatkan jawabannya, SMP Negeri 15 Raja Ampat,
berada di Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, tidak ada
lampu, dan parahnya lagi di sana tidak ada sinyal. “Ya ampun, di planet mana
lagi itu Misool?” Dalam hatiku bertanya-tanya.
Syukur
alhamdulillah, ada 2 orang wanita lagi yang mendapat tempat tugas sama
denganku. Setidaknya aku masih punya teman untuk berangkat ke tempat tugas.
Setelah interogasi sana-sini, mencari tahu tentang wilayah Misool, akhirnya
kami bertiga memutuskan untuk berangkat ke tempat tugas bersama- sama. Dari
pelabuhan rakyat Sorong, ada sebuah kapal dengan tujuan Folley-Harapan Jaya.
Kapal itu bernama Kurisi. Kapal penyeberangan ferri dengan dua lantai, lantai
pertama yang seharusnya untuk mengangkut barang disulap menjadi tempat
penumpang dan hanya sebagian saja yang ada atapnya yaitu yang ada lantai ke
dua, sedangkan yang lainnya beratapkan terpal. Meskipun hanya beralas tikar dan
beratapkan terpal, banyak sekali penumpang yang menaiki kapal tersebut,
jangankan untuk tidur, untuk jalan saja pun kita harus lewat di sela-sela
kepala orang yang sedang tidur. Tidak
kalah dahsyatnya dengan lantai satu, lantai duapun ternyata penuh sesak dengan
tumpukan manusia. Mulai dari situ aku dan teman-teman berpikir, kalau penumpang
kapalnya sebanyak itu, berarti penduduk pulau Misool banyak juga, karena yang
kutanyakan dengan penumpang kapal lainnya, ternyata kapal itu selalu penuh
sesak setiap kali ke ataupun dari Misool.
Jam
2 siang keberangkatan ditulis di papan pengumuman, tapi molor sampai jam 4
sore. Akhirnya berangkatlah kapal tersebut tepat jam 4 sore. Kapalnya lelet
seperti ulat keket. Tapi aku tetap excited
meskipun aku harus selalu menyeberangi lautan dan memakai kapal yang
leletnya nggak ketulungan. Kanan-kiriku penuh dengan manusia, untuk membaringkan
badanku saja aku susah. Sambil menunggu rasa ngantuk, aku mulai browsing dan mencari-cari petunjuk
tentang Misool khususnya tentang Folley.
Menurut hasil interogasiku selama ini, Misool berada di bagian paling
selatan Papua dan memiliki musim yang paling ganas yaitu musim angin selatan.
Karena Misool berada paling selatan maka paling dahsyat juga kenanya.
|
Jam
2 dini hari akhinya kapal tersebut sandar di sebuah dermaga kecil, dermaga
dengan nama “Yusuf Salim” itu terbuat dari kayu yang ukuran lebarnya kira-kira
10 meter. Turunlah kami di dermaga tersebut, dengan muka bingung tak tau mau
kemana arah selanjutnya, kami pun menganga dibuatnya saat melihat keadaan
sekitar yang gelap dan hanya menyala satu-dua lampu pelita. Riuhnya orang yang
datang menjemput maupun yang baru datang membuat suasana malam itu ramai di
dermaga maupun jembatannya. Sangking banyaknya orang, dermaga itu kurasakan
goyang seperti sedang gempa. Mencoba untuk menyelamatkan diri, karena takut
dermaganya roboh, aku bersama dua temanku mengikuti arah orang-orang jalan
menuju daratan. Sambil membawa koper dan peralatan perang di dapur, hujan
gerimis datang menjemput kami. Parahnya lagi saat hujan sudah mulai deras,
jembatan yang kita lewati tak kunjung sampai daratan. Ternyata memang jembatan
folley sangat panjang, sangking panjangnya kami pun sudah lelah di jalan dan
rasa ingin membuang saja barang-barang yang kami bawa, karena untuk membawa diri
sendiri saja kami sudah tak mampu apalagi untuk membawa barang-barang yang
sebanyak itu.
|
Esok
paginya, kami bersiap berangkat ke sekolah untuk melapor. Rumah yang kami
tempati malam itu sudah penuh dengan tamu, mereka di antaranya Kepala Distrik
dan para aparat kampung. Sungguh ramah penduduk setempat, mereka wellcome sekali dengan kami,
sampai-sampai mau ke sekolah pun kami diantarkan oleh mereka.
Penduduk
Folley dibagi menjadi dua bagian, penduduk asli dari suku Matbat dan beragama
Kristen, dan yang pendatang dari suku Buton dan beragama Islam. Mereka hidup
rukun dan damai, mereka saling membantu satu sama lainnya. Kampung itu indah,
bahkan lebih indah dari yang ku- bayangkan. Semua rumah tertata rapi dan
terjaga kebersihannya. Mayoritas penghasilan penduduk setempat adalah mencari
ikan dan berkebun, sedangkan para wanitanya selain menjadi ibu rumah tangga
mereka membuat usaha kecil-kecilan seperti membuat kue, minyak kelapa ataupun
tikar. Setiap pagi, ada saja orang yang berkeliling menjajakan kue, ikan maupun
sayuran. Makin betah rasanya aku hidup di sana. Hidup di sebuah pulau,
dipinggir pantai yang bersih, dan berpasir putih.
Folley
memiliki berbagai macam keunikan yang sebelumnya belum pernah ku lihat.
Beberapa pohon di sana bertuliskan “sasi
gereja”, baik itu pohon sirih, kelapa, mangga bahkan pantai pun banyak yang
bertuliskan sasi gereja tersebut.
Sebuah tulisan yang ditulis di sebuah kayu berukuran 30 cm, dan biasanya di
paku di sebuah pohon atau patok di pantai. Setiap daerah yang ada tulisan sasi gereja tersebut bertanda kalau
daerah tersebut dalam masa konservasi atau perlindungan, dan tidak ada
seorangpun yang berani melanggar-nya, baik itu yang nasrani ataupun yang
muslim, sebelum masa sasinya dilepas.
Sebagian
besar wilayah Folley adalah pantai, oleh sebab itu banyak sekali kelapa yang hidup
dan tumbuh subur. Selain berkebun dan mencari ikan, penduduk juga banyak yang
memanfaatkan hasil kelapa dengan membuatnya sebagai kopra dan dijual di
pengepul yang datang tiap sebulan sekali ataupun pada pemilik toko besar di
sana.
Ya..
di folley juga ada sebuah toko besar yang menyediakan berbagai kebutuhan pokok,
kebutuhan laut, sandang maupun papan. Toko tersebut menyediakan segala yang
kita butuhkan, dengan harga yang relatif sama dengan harga di Sorong. Bahkan kita pun bisa menelpon dengan wartel
yang telah disediakan, meskipun dengan harga yang mahalnya selangit karena memakai
satelit tetapi cukup mengobati rasa rinduku dengan keluarga.
|
|
|
|
|