Rabu, 03 April 2013

Nekat yang Membawa Berkat


Nekat yang Membawa Berkat
(The Journey of Raja Ampat)
Kuwati


R
aja Ampat…  Siapa yang tidak kenal dengan namanya? Surga kecil di ujung Timur Indonesia yang memiliki seribu pulau nan indah dan eksotis. Tempat dimana aku akan mengabdikan diri sebagai guru di sana.
Setelah 4 tahun kuliah di sebuah Sekolah Keguruan Tinggi di Sorong, akhirnya aku lulus juga. Saatnya bagiku menentukan masa depanku untuk mencari kerja, mengabdikan diri kepada Bangsa ini. Berawal dari ikut-ikutan teman-teman, aku nekat untuk ikut berlayar ke pulau Raja Ampat, dengan tujuan jalan-jalan sekaligus mencari kerjaan. Berbekal ijazah dengan predikat kelulusan sangat memuaskan, aku nekat untuk mengikuti tes CPNS di sana. Setelah kurang lebih 2 bulan menjadi pengangguran kelas berat, akhirnya diumumkan juga nama-nama yang tembus tes tersebut. Syukur Alhamdulillah, namaku disebut dengan urutan pertama pada guru mata pelajaran Biologi. Rasa gemetar dengan darah yang mengalir deras seakan tak bisa dibendung. Ungkapan rasa gembira yang tak terhingga.
Well…akhirnya aku berangkat ke waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat, tempat aku mendaftar sebagai calon CPNS dulu. Setelah melengkapi semua berkas-berkas di Kepegawaian, akhirnya aku dapat juga nota dinas, surat pengantar untuk aku melaksanakan tugas. Entah kenapa ada perasaan takut dan sempat ingin mundur saja, karena ternyata Raja Ampat sangat luas, lalu akan di tempatkan dimana aku nanti?
Nota Dinas sudah ditangan, tertulis di situ “SMP Negeri 15 Raja Ampat ”. see… apa yang terjadi? Mukaku merah seperti udang di rebus, mataku berkaca-kaca dan siap meluncurkan hujan air mata. Kupasang muka melas stadium akhir, kutanyakan dengan orang dinas dimana SMP Negeri 15 itu? Akhirnya kudapatkan jawabannya, SMP Negeri 15 Raja Ampat, berada di Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, tidak ada lampu, dan parahnya lagi di sana tidak ada sinyal. “Ya ampun, di planet mana lagi itu Misool?” Dalam hatiku bertanya-tanya.
Syukur alhamdulillah, ada 2 orang wanita lagi yang mendapat tempat tugas sama denganku. Setidaknya aku masih punya teman untuk berangkat ke tempat tugas. Setelah interogasi sana-sini, mencari tahu tentang wilayah Misool, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk berangkat ke tempat tugas bersama- sama. Dari pelabuhan rakyat Sorong, ada sebuah kapal dengan tujuan Folley-Harapan Jaya. Kapal itu bernama Kurisi. Kapal penyeberangan ferri dengan dua lantai, lantai pertama yang seharusnya untuk mengangkut barang disulap menjadi tempat penumpang dan hanya sebagian saja yang ada atapnya yaitu yang ada lantai ke dua, sedangkan yang lainnya beratapkan terpal. Meskipun hanya beralas tikar dan beratapkan terpal, banyak sekali penumpang yang menaiki kapal tersebut, jangankan untuk tidur, untuk jalan saja pun kita harus lewat di sela-sela kepala  orang yang sedang tidur. Tidak kalah dahsyatnya dengan lantai satu, lantai duapun ternyata penuh sesak dengan tumpukan manusia. Mulai dari situ aku dan teman-teman berpikir, kalau penumpang kapalnya sebanyak itu, berarti penduduk pulau Misool banyak juga, karena yang kutanyakan dengan penumpang kapal lainnya, ternyata kapal itu selalu penuh sesak setiap kali ke ataupun dari Misool.
Jam 2 siang keberangkatan ditulis di papan pengumuman, tapi molor sampai jam 4 sore. Akhirnya berangkatlah kapal tersebut tepat jam 4 sore. Kapalnya lelet seperti ulat keket. Tapi aku tetap excited meskipun aku harus selalu menyeberangi lautan dan memakai kapal yang leletnya nggak ketulungan. Kanan-kiriku penuh dengan manusia, untuk membaringkan badanku saja aku susah. Sambil menunggu rasa ngantuk, aku mulai browsing dan mencari-cari petunjuk tentang Misool khususnya tentang Folley.  Menurut hasil interogasiku selama ini, Misool berada di bagian paling selatan Papua dan memiliki musim yang paling ganas yaitu musim angin selatan. Karena Misool berada paling selatan maka paling dahsyat juga kenanya.
Kapal kurisi, kapal transportasi Sorong -Misool
 
Jam 8 malam, sebagian penumpang sudah ada yang tertidur lelap, sebagian lagi bermain kartu untuk menghilangkan rasa bosan, sedangkan aku memanfaatkan sinyal-sinyal terakhir untuk menelpon keluarga dan teman-temanku sampai aku tertidur dan sinyalpun mulai hilang. Terbangunlah aku tepat jam 12 malam, sudah bosan aku tidur, akupun bertanya dengan penumpang lain yang bertempat di sebelahku. Katanya Folley sudah dekat, saat ku tanya berapa jam lagi, mereka menjawab sekitar 2 jam lagi. “ya ampuuun… itu mah masih lama banget”. Kataku sambil tercengang.
Jam 2 dini hari akhinya kapal tersebut sandar di sebuah dermaga kecil, dermaga dengan nama “Yusuf Salim” itu terbuat dari kayu yang ukuran lebarnya kira-kira 10 meter. Turunlah kami di dermaga tersebut, dengan muka bingung tak tau mau kemana arah selanjutnya, kami pun menganga dibuatnya saat melihat keadaan sekitar yang gelap dan hanya menyala satu-dua lampu pelita. Riuhnya orang yang datang menjemput maupun yang baru datang membuat suasana malam itu ramai di dermaga maupun jembatannya. Sangking banyaknya orang, dermaga itu kurasakan goyang seperti sedang gempa. Mencoba untuk menyelamatkan diri, karena takut dermaganya roboh, aku bersama dua temanku mengikuti arah orang-orang jalan menuju daratan. Sambil membawa koper dan peralatan perang di dapur, hujan gerimis datang menjemput kami. Parahnya lagi saat hujan sudah mulai deras, jembatan yang kita lewati tak kunjung sampai daratan. Ternyata memang jembatan folley sangat panjang, sangking panjangnya kami pun sudah lelah di jalan dan rasa ingin membuang saja barang-barang yang kami bawa, karena untuk membawa diri sendiri saja kami sudah tak mampu apalagi untuk membawa barang-barang yang sebanyak itu.
 

Akhirnya sampailah juga kami di darat, di bawah pohon ketapang kami berlindung dari derasnya hujan malam itu. Tak tahu mau kemana langkah kami selanjutnya, kami pun memutuskan jalan satu-satunya untuk berlindung dan istirahat malam itu adalah masjid. Ternyata ada orang yang bertanya kepada kami, dan menawarkan kami tempat tinggal sementara. Hanya berbekal nekat, akhirnya kami pun ikut dengannya. Menginap di sebuah rumah seorang suster, rasanya nyaman  sekali. Lelah malam itu mengantarkan kami tidur dengan lelapnya.
Esok paginya, kami bersiap berangkat ke sekolah untuk melapor. Rumah yang kami tempati malam itu sudah penuh dengan tamu, mereka di antaranya Kepala Distrik dan para aparat kampung. Sungguh ramah penduduk setempat, mereka wellcome sekali dengan kami, sampai-sampai mau ke sekolah pun kami diantarkan oleh mereka.
Penduduk Folley dibagi menjadi dua bagian, penduduk asli dari suku Matbat dan beragama Kristen, dan yang pendatang dari suku Buton dan beragama Islam. Mereka hidup rukun dan damai, mereka saling membantu satu sama lainnya. Kampung itu indah, bahkan lebih indah dari yang ku- bayangkan. Semua rumah tertata rapi dan terjaga kebersihannya. Mayoritas penghasilan penduduk setempat adalah mencari ikan dan berkebun, sedangkan para wanitanya selain menjadi ibu rumah tangga mereka membuat usaha kecil-kecilan seperti membuat kue, minyak kelapa ataupun tikar. Setiap pagi, ada saja orang yang berkeliling menjajakan kue, ikan maupun sayuran. Makin betah rasanya aku hidup di sana. Hidup di sebuah pulau, dipinggir pantai yang bersih, dan berpasir putih.

Folley memiliki berbagai macam keunikan yang sebelumnya belum pernah ku lihat. Beberapa pohon di sana bertuliskan “sasi gereja”, baik itu pohon sirih, kelapa, mangga bahkan pantai pun banyak yang bertuliskan sasi gereja tersebut. Sebuah tulisan yang ditulis di sebuah kayu berukuran 30 cm, dan biasanya di paku di sebuah pohon atau patok di pantai. Setiap daerah yang ada tulisan sasi gereja tersebut bertanda kalau daerah tersebut dalam masa konservasi atau perlindungan, dan tidak ada seorangpun yang berani melanggar-nya, baik itu yang nasrani ataupun yang muslim, sebelum masa sasinya dilepas.
Sebagian besar wilayah Folley adalah pantai, oleh sebab itu banyak sekali kelapa yang hidup dan tumbuh subur. Selain berkebun dan mencari ikan, penduduk juga banyak yang memanfaatkan hasil kelapa dengan membuatnya sebagai kopra dan dijual di pengepul yang datang tiap sebulan sekali ataupun pada pemilik toko besar di sana.
Ya.. di folley juga ada sebuah toko besar yang menyediakan berbagai kebutuhan pokok, kebutuhan laut, sandang maupun papan. Toko tersebut menyediakan segala yang kita butuhkan, dengan harga yang relatif sama dengan harga di Sorong.  Bahkan kita pun bisa menelpon dengan wartel yang telah disediakan, meskipun dengan harga yang mahalnya selangit karena memakai satelit tetapi cukup mengobati rasa rinduku dengan keluarga.

 
Samping kanan-kiri Kampung Folley terdapat kampung-kampung lain yang banyak juga penduduknya. Selain tempat bermukim, di Misool juga  terdapat banyak tempat indah nan eksotis yang wajib untuk dikunjungi. Contohnya saja gua keramat, memang untuk menuju ke sana, dari Folley membutuhkan 1 jam perjalanan menyeberang laut. Tapi sepanjang perjalanan itu, kita tidak akan dibuat menyesal, karena kita akan disuguhkan dengan pemandangan bawah laut yang menampilkan beningnya air dan indahnya karang berwarna-warni yang kita bisa nikmati hanya dengan duduk di atas perahu. Ribuan ikan kecil yang berlompatan akan mengiringi perjalanan kita, ikan besarpun tampak menari berliuk-liuk di bawah permukaan air. Sungguh pemandangan yang belum pernah kita lihat sebelumnya, begitu tenang, dan begitu mendamaikan. Tak sampai di situ saja, saat kita melihat ke atas kita akan dibuat terperanga dengan keindahan tebing-tebing batu yang seolah diiris seperti kue lapis. So beautifull….!

 
Keindahan itu tidak habis sampai di situ saja, saat kita sudah mendekati goa kita akan melihat tulisan arab berlafadz Allah diatas goa tersebut. Saat kita masukpun kita tidak akan menyangka, pintu gerbang yang kita lewati, di atasnya ada sebuah makam leluhur pembawa agama islam yang entah sudah berapa tahun lamanya, di bibir goa terdapat seperti kolam jernih yang siapapun melihatnya ingin langsung menyeburkan diri dan berenang di kolam rasa asin itu. Kandungan garam yang tinggi membuat kita mudah sekali terapung di air itu.

Perjalanan menuju goa keramat
 
Kolam air asin dalam goa keramat
 
Konon katanya, kalau kita beruntung kita akan mendengarkan suara musik tambur dari dalam goa tersebut. Terdengar menyeramkan, tapi membuatku semakin penasaran. Kata penduduk setempat, dulu banyak terdapat tulang manusia di dalam goa tersebut. Tapi karena banyak  turis luar negeri yang sudah datang berkunjung ke tempat tersebut, satu demi satu tulang-tulang tersebut hilang. Sekarang hanya tinggal sejarah dan makam keramat yang masih tertinggal di sana. Tapi tak sedikitpun mengurungkan niatku untuk berkunjung kembali ke goa keramat tesebut. Nekatku menjadi berkat tersendiri bagiku. Aku bangga bisa menjadi bagian dari alam Raja Ampat yang indah ini.